Rabu, 06 April 2011

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

1.  Konsep dan Definisi

Secara etimologis, “kemiskinan” berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak berharta benda dan dalam keadaan yang serba kekurangan. Departemen Sosial dan Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan dari perspektif kebutuhan dasar. Oleh karena itu, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPSdan Depsos, 2002). Bahkan lebih jauh disebutkan bahwa kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold).
Frank Ellis (dalam Suharto, 2005) menyatakan bahwa kemiskinan memiliki berbagai dimensi yang menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat disefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Dalam hal ini tentu sumber daya tidak hanya menyangkut masalah finansial saja, tapi juga meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan hal tersebut, kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line).
Konsep kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. David Harry Penny (1990:140) mendefinisikan kemiskinan absolut dalam kaitannya dengan suatu sumber-sumber materi, yang dibawahnya tidak ada kemungkinan kehidupan berlanjut; dengan kata lain hal ini adalah tingkat kelaparan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan yang didasarkan pada proporsi distribusi pendapatan dalam suatu negara. World Bank (BPS dalam Haryati, 2003:95) menyusun ukuran kemiskinan relatif yang sekaligus digunakan untuk mengukur tingkat pemerataan, yaitu dengan membagi penduduk menjadi tiga kelompok: (1) kelompok 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah dan 20% penduduk berpendapatan tinggi.
Menentukan ukuran kemiskinan bukanlah hal yang mudah. Kesulitannya bukan hanya pada indikator apa yang akan digunakan, tapi juga bagaimana menggunakan indikator tersebut pada suatu individu, keluarga, kelompok orang atau masyarakat. Untuk mempermudah dalam mengukur kemiskinan tersebut, kemudian muncul konsep poverty line (garis kemiskinan).


2.  Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan
1.       Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan
Hubungan antara tingkat kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan Kuznet Hypothesis. Hipotesis ini berawal dari pertumbuhan ekonomi (berasal dari tingkat pendapatan yang rendah berasosiasi dalam suatu masyarakat agraris pada tingkat awal) yang pada mulanya menaik pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah hingga pada suatu tingkat pertumbuhan tertentu selanjutnya kembali menurun. Indikasi yang digambarkan oleh Kuznet didasarkan pada riset dengan menggunakan data time series terhadap indikator kesenjangan Negara Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
Pemikiran tentang mekanisme yang terjadi pada phenomena “Kuznet” bermula dari transfer yang berasal dari sektor tenaga kerja dengan produktivitas rendah (dan tingkat kesenjangan pendapatannya rendah), ke sektor yang mempunyai produktivitas tinggi (dan tingkat kesenjangan menengah). Dengan adanya kesenjangan antar sektor maka secara subtansial dapat menaikan kesenjangan diantara tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing sektor (Ferreira, 1999, 4).
Versi dinamis dari Kuznet Hypothesis, menyebutkan kan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun (dasawarsa) memberikan indikasi naiknya tingkat kesenjangan pendapatan dengan memperhatikan initial level of income (Deininger & Squire, 1996). Periode pertumbuhan ekonomi yang hampir merata sering berasosiasi dengan kenaikan kesenjangan pendapatan yang menurun.
2.       Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
Pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan, jumlah orang-orang miskin berangsur-angsur berkurang. Banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/negara, seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.
Dalam persamaan relasi antara pertumbuhan output agregat dan kemiskinan, elastisitas dari ketidak merataan dalam distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan pendapatan adalah suatu komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskianan. Dalam kata lain,kemiskinan tidaka hanya berkorelasi dengan pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN, tetapi juga denagn pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi secara individu.

3.  Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Terdapat beberapa metode untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yaitu axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan didalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini. Rumus dari GE mempunyai formula seperti:

GE (α) = (1 / ( α2 – α | (1 / n) ∑ (yi / Y^)α – 1 |
i=1

keterangan:
n                          :  adalah jumlah individu (orang) didalam sampel,
yi                          :  adalah pendapatan dari individu (i=1,2…..n), dan
Y^ = (1/n) ∑yi      :  adalah ukuran rata-rata pendapatan nilai GE. 
Nilai GE nol (0) berarti distribusi pendaptan merata (pendapatan dari semua individu didalam sample data), dan 4 berarti terdapat kesenjangan yang sangat besar. Parameter a mengukur besarnya perbedaan-perbedaan antara pendapatan-pendapatan dari kelompok-kelompok yang berbeda didalam distribusi tersebut, dan mempunyai nilai riil.
A = 1 – | (1/ n) ∑ (yi / Y^) 1-€ | 1/(1-€)
i = 1

keterangan:
€    adalah parameter ketimpangan, 0<€<1  adalah semakin tinggi nilai € (semakin tidak seimbang pembagian pendapatan).
Nilai A mencakup dari 0 sampai dengan 1, sehingga 0 (nol) berarti tidak ada kepincangan dalam distribusi pendapatan.
Alat ukur ketiga dari pendekatan aksioma ini yang selalu digunakan dalam setiap studi-studi empiris mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah koefisien atau rasio Gini, yang formulanya sebagai berikut:
Gini = (1 /2n2- Y^) ∑ ∑ | yi – yi |
i=1 j=1

Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai 1, dengan keterangan:
*     Jika 0 (nol), berarti: kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan).
*     Jika 1 (satu) , berarti:  ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendaptan Negara tersebut.
Ide pokok dari perhitungan koefisien Gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien Gini adalah rasio: (a) daerah didalam grafik tersebut yang terletak diantara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 45° dari titik 0 dari sumbu y dan x) terhadap (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y-x. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauhi kurva Lorenz dari garis 45° tersebut, sehingga semakin besar tingkat ketidak merataan distribusi pendapatan.
Cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia  adalah dengan cara mengelompokkan jumlah penduduk menjadi tiga grup, yaitu 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20& penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.
Menurut kriteria bank dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, jika 40% penduduk dari kelompok pendapatan rendah menerima lebih kecil 12% dari jumlah pendapatan. Sedangkan tingkat ketidakmerataan sedang, jika kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan; dan  ketidakmerataan, jika kelompok tersebut menerima lebih dari 17% dari jumlah pendapatan.
Untuk mengukur kemiskinan ada tiga indikator yang diperkenalkan oleh foster dkk (1984) yang sering digunakan oleh banyak study empiris, sebagai berikut:
*     Pertama , the incidence of poverty, yaitu persentase dari populasi yang hidup didalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan. Indeksnya sering disebut dengan rasio H.
*     Kedua, the depth of poverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan (IJK), atau disebut poverty gap index. Indeks ini menggambarkan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut dengan formula:
Pa = (1/n) ∑i[(z – yi)/ z]a untuk semua yi < z
Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a > 1. Bagian [(z – yi)/ z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan kelompok ke I keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu persentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z – yi)/ z]a merupakan persentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan saat dijumlahkan dari orang miskin lalu dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
*     Ketiga, the severity of poverty yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama dengan IJK. Namun, IKK juga dapat mengukur ketimpangan antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

Adanya dua indikator ini (selain rasio H) berguna untuk mengkonpensasikan kelemahan dari rasio H yang tidak bisa menjelaskan tingkat keparahan kemiskinan di suatu negara. Para peneliti kemiskinan sudah lama tertarik pada dua faktor lain, yaitu besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar orang miskin. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain tetap tidak berubah, tambah tinggi rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, tambah besar rentang pendapatan antar orang miskin, dan kemiskinan akan tambah besar.

Perkembangan dasar pemikiran diatas, muncul indeks kemiskinan Sen, yang memasukkan dua faktor tersebut, yakni koefisien Gini dan rasio H:
S= H[I + (1-I) Gini]
Di mana I adalah jumlah rata-rata defisit pendapatan dari orang miskin sebagai suatu persentase dari garis kemiskinan, dan koefisien Gini yang mengukur ketimpangan antara orang miskin. Sehingga jika salah satu dari faktor-faktor tersebut naik, tingkat kemiskinan bertambah besar (yang diukur dengan S).

4.  Empiris
Distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS yang berisi tentang pengeluaran konsumsi rumah tangga dari survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi tersebut digunakan sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat.
Metode ini sebenarnya meiliki suatu kelemahan yang serius, dikarenakan data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus sama dengan pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar bukan berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada dimungkinkan adanya tabungan.
Namun, apabila jumlah pendapatannya rendah bukan juga berarti jumlah konsumsinya juga rendah, karena banyak rumah tangga yang menggunakan kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan liburan.
5.  Faktor Penyebab Kemiskinan
·     Laju Pertumbuhan Penduduk. Indonesia menjadi negara ke-4 terbanyak penduduknya setelah China, India dan Amerika. Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesiasemakin terpuruk dengankeadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung membuatpenduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
·        Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja, dan Pengangguran. Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk yang berumur didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap orang atau semua penduduk berumur 10 tahun tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya merupakan bukan tenaga kerja yang selanjutnya dapat dimasukan dalam katergori beban ketergantungan
·        Distribusi Pendapatan dan Pembangunan. Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah (penduduk miskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya). 
·         Tingkat Pendidikan Yang Rendah
Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan di suatu negara. Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanyaperkembangan ekonomi terutama industry, jelas sekali dibuthkan lebih banyak teanga kerja yang mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis. Menurut Schumaker pendidikan merupakan sumber daya yang terbesar manfaatnya dibandingkan faktor-faktor produksi lain. ( Irawan, 1999)
·        Kurangnya Perhatian dari Pemerintah.  Pemerintah yang kurang peka terhadap
laju pertumbuhan masyarakat miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan.Pemerintah tidak dapat memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkatkemiskinan di negaranya.

6.  Kebijakan Anti Kemiskinan
Dalam memerangi kemiskinan diperlukan strategi yang tepat dan akurat, sehingga dibutuhkan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran yang dapat dibagi menurut waktu, yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Intervensi jangka pendek merupakan yang  terutama dari pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan. Hal ini penting mengingat akan fakta yang ada bahwa di satu pihak, hingga saat ini sebagian besar wilayah Indonesia masih pedesaan dan sebagian penduduk Indonesia.
Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB, UNDP, ILO, dan sebagainya mengeluarkan kebijakan untuk memerangi kemiskinan, melalui:
a) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang padat karya.
b) Pengembangan SDM.
c) Membuat jaringan pengaman sosial bagi penduduk miskin yang tidak mampu memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik sosial atau wilayah yang terisolasi.
World bank (2000) memberikan metode baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
a.   Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan tingkat lokal.
b.  Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makro dan jaringan pengaman yang lebih komprehensif.
c.  Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset tersebut.
ADB (1999) menyatakan ada 3 pilar untuk mengentaskan kemiskinan:
a.  Pertumbuhan berkelanjutan yang pro-kemiskinan.
b.  Pengembangan sosial yang mencakup: pengembangan SDM, modal sosial, perbaikan status perempuan, dan perlindungan sosial.
c.  Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan.
d.   Faktor tambahan:
• Pembersihan polusi udara dan air kota-kota besar.
• Reboisasi hutan, penumbuhan SDM, dan perbaikan tanah.
Meningkatnya anggaran untuk pengentasan kemiskinan dari tahun ke tahun bukanlah jaminan kemiskinan secara riil dapat turun jika tidak dilakukan dengan kebijakan pengentasan kemiskinan yang tepat. Kebijakan antikemiskinan yang dilakukan pemerintah lebih condong ke arah membuat masyarakat miskin menjadi lebih miskin.
Program-program seperti Raskin, BLT,dan sebagainya yang akan dilanjutkan pada tahun anggaran 2010 dapat membuat masyarakat miskin mengalami ketergantungan. Kebijakan kedermawanan yang kurang tepat dapat memperburuk moral dan perilaku orang miskin. Sebenarnya yang harus dibina adalah  cara peningkatkan partisipasi masyarakat, kemandirian masyarakat yang artinya selain penduduk miskin juga harus mempunyai kemandirian dan berupaya sendiri dalam mengatasi kemiskinan, dan eksplorasi pengentasan kemiskinan.
Pemerintah lebih baik memberikan program dalam bentuk pemberdayaan yang melibatkan peran serta seluruh masyarakat. Program-program pengentasan kemiskinan mendatang sebaiknya dikembangkan dengan model pembangunan komunitas/ community development yang melibatkan turut serta aktif masyarakat. Dengan comdev yang merupakan program pemberdayaan, masyarakat miskin diberikan akses yang luas untuk meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih baik.

Kebijakan yang tepat dan sistematis dalam pengentasan kemiskinan dalam bentuk program-progran pemberdayaan masyarakat lebih efektif dalam menurunkan jumlah orang miskin di negeri ini hal ini sudah terbukti di negara-negara seperti Cina dan India. Analoginya sederhana kita bukan memberikan ikan tetapi pamcingannya dan membina mereka bagaimana cara memancing ikan yang benar. Hal itulah yang harus dilakukan oleh pemerintah kita, karena jika rakyat terbiasa diberi ikan, lama-kelamaan akan muncil budaya ‘malas’.
Sumber :

Nama              : Karina Muliawati Sumirat


NPM                 : 23210838
Kelas                : 1 EB 18
Mata Kuliah   : Perekonomian Indonesia
Topik               : Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar